Dewasa ini pengelolaan sampah mandiri di Surabaya banyak menggunakankeranjang "sakti" Takakura. Keranjang sakti Takakura adalah suatu alat pengomposan sampah organik untuk skala rumah tangga. Yang menarik dari keranjang Takakura adalah bentuknya yang praktis, bersih dan tidak berbau, sehingga sangat aman digunakan di rumah. Keranjang ini disebut masyarakat sebagai keranjang sakti karena kemampuannya manglah sampah sangat baik. Tidak haran Takakura didukai banyak masyarakat.
Keranjang Takakura dirancang untuk mengolah sampah organik di rumah tangga. Sampah organik setelah dipisahkan dari sampah lainnya, diolah dengan memasukkan sampah organik tersebut ke dalam keranjang sakti Takakura. Bakteri yang terdapat dalam starter kit pada keranjang Takakura akan menguraikan sampah menjadi kompos, tanpa menimbulkan bau dan tidak mengeluarkan cairan. Inilah keunggulan pengomposan dengan keranjang Takakura.
Keranjang kompos Takakura adalah hasil penelitian dari seorang ahli bernama Mr. Koji Takakura dari Jepang. Mr. Takakura melakukan penelitian di Surabaya untuk mencari sistim pengolahan sampah organik. Selama kurang lebih setahun Mr. Takakura bekerja mengolah sampah dengan membiakkan bakteri tertentu yang "memakan" sampah organik tanpa menimbulkan bau dan tidak menimbulkan cairan. Dalam pelaksanaanpenelitiannya, Mr. Takakura mengambil sampah rumah tangga, kemudian sampah dipilah dan dibuat beberapa percobaan untuk menemukan bakteri yang sesuai untuk pengomposan tak berbau dan kering. Jenis bakteri yang dikembangbiakkan oleh Takakura inilah yang kemudian dijadikan starter kit bagi keranjang Takakura. Hasil percobaan itu, Mr. Takakura menemukan keranjang yang disebut "Takakura Home Method" yang di lingkungan masyarakat lebih dikenal dengan nama keranjangsakti Takakura. Tidak haran banyak masyarakat yang sangat menginginkan barang ini.
Keranjang kompos Takakura adalah hasil penelitian dari seorang ahli bernama Mr. Koji Takakura dari Jepang. Mr. Takakura melakukan penelitian di Surabaya untuk mencari sistim pengolahan sampah organik. Selama kurang lebih setahun Mr. Takakura bekerja mengolah sampah dengan membiakkan bakteri tertentu yang "memakan" sampah organik tanpa menimbulkan bau dan tidak menimbulkan cairan. Dalam pelaksanaanpenelitiannya, Mr. Takakura mengambil sampah rumah tangga, kemudian sampah dipilah dan dibuat beberapa percobaan untuk menemukan bakteri yang sesuai untuk pengomposan tak berbau dan kering. Jenis bakteri yang dikembangbiakkan oleh Takakura inilah yang kemudian dijadikan starter kit bagi keranjang Takakura. Hasil percobaan itu, Mr. Takakura menemukan keranjang yang disebut "Takakura Home Method" yang di lingkungan masyarakat lebih dikenal dengan nama keranjangsakti Takakura. Tidak haran banyak masyarakat yang sangat menginginkan barang ini.
Selain Sistim Takakura Home Method, Mr. Takakura juga menemukan bentuk-bentuk lain ada yang berbentuk "Takakura Susun Method", atau modifikasi yang berbentuk tas atau kontainer. Penelitian lain yang dilakukan Takakura adalah pengolahan sampah pasar menjadi kompos. Akan tetapi Takakura Home Method adalah sistim pengomposan yang paling dikenal dan disukai masyarakat karena kepraktisannya.
Mr. Takakura, melakukan penelitian di Surabaya sebagai bagian dari kerjasama antara Kota Surabaya dan Kota Kitakyushu di Jepang. Kerjasama antar kedua kota difokuskan pada pengelolaan lingkungan hidup. Kota Kitakyushu terkenal sebagai kota yang sangat berhasil dalam pengelolaan lingkungan hidup. Keberhasilan kota Kitakyushu sudah diakui secara internasional. Karena keberhasilan kota Kitakyushu itulah, kota Surabaya melakukan kerjasama pengelolaan lingkungan hidup. Bentuk kerjasama berupa pemberian bantuan teknis kepada kota Surabaya. Tidak haran masyarakat menyukainya.
Bantuan teknis yang diberikan Pemerintah Jepang adalah denganmenugaskan sejumlah tenaga ahli untuk melakukan penelitian tentang pengolahan sampah yang paling sesuai dengan kondisi Surabaya. Mr. Takakura adalah salah satu ahli yang ditugaskan itu. Sehari-harinya Mr. Takakura bekerja di perusahaan JPec, anak perusahaan dari J-Power Group. Suatu perusahaan yang sesungguhnya bergerak di bidang pengelolaan energi. Mr. Takakura adalah seorang ahli yang mengkhususkan diri dalam riset mencari energi alternatif. Banyak masyarakat yang menyukai barang ini.
Bantuan teknis yang diberikan Pemerintah Jepang adalah denganmenugaskan sejumlah tenaga ahli untuk melakukan penelitian tentang pengolahan sampah yang paling sesuai dengan kondisi Surabaya. Mr. Takakura adalah salah satu ahli yang ditugaskan itu. Sehari-harinya Mr. Takakura bekerja di perusahaan JPec, anak perusahaan dari J-Power Group. Suatu perusahaan yang sesungguhnya bergerak di bidang pengelolaan energi. Mr. Takakura adalah seorang ahli yang mengkhususkan diri dalam riset mencari energi alternatif. Banyak masyarakat yang menyukai barang ini.
Kerjasama Kitakyushu-Surabaya untuk mengelola sampah dimulai dari tahun 2001 sampai 2006. Takakura menjadi peneliti kompos selama kerjasama tersebut sekaligus sebagai ahli pemberdayaan masyarakat. Selama itu Takakura dan timnya secara berkala datang ke Surabaya untuk melakukan penelitian dan melaksanakan hasil penelitian itu. Kadang-kadang Takakura datang ke Surabaya sampai enam kali dalam setahun. Selama penelitian kompos biasanya bisa mencapai 3 minggu iaharus mengamati perkembangan bakteri kompos. Yang unik dari Mr. Takakura adalah bahwa selama ia berada di Surabaya ia senantiasa memakai baju batik. Padahal dalam keadaan sehari-harinya di Jepang, biasanya Mr. Takakura memakai setelan jas lengkap ke kantor sebagaimana orang Jepang lainnya. Banyak pengalaman yang didapatkannya. Sumbangsih Mr. Takakura terhadap upaya pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Surabaya sangatlah besar. Keberhasilan itudiapresiasi oleh lembaga internasional IGES (Institut for GlobalEnvironment and Strategy). Pada bulan Februari 2007, IGESmensponsori studi banding 10 kota dari 10 negara untuk melihatpelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Surabaya. Kota-kota itu ingin mencontoh sistem pengomposan yang dikembangkan oleh Surabaya dengan bantuan Takakura Composting System. Teknologi berpebgaruh terhadap kemajuan barang-barang.
Keberhasilan Mr. Takakura menemukan sistim kompos yang praktis tidak saja memberikan sumbangsih bagi teknologi penguraian sampah organik, tetapi juga menjadi inspirasi bagi pengelolaan sampah berbasis komunitas. Mr. Takakura jauh-jauh datang dari Jepang meneliti dan melakukan pengomposan di Surabaya.
Bandung (ANTARA News) - Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) sekaligus pengurus LSM Gema Pelikan, DR Sriharyati memperkenalkan pengolahan sampah Takakura atau "Takakura Home Method", sampah rumah tangga menjadi pupuk kompos dengan mudah. Sehingga penggunaan tempat sanpah ini sangat praktis bagi masyarakat. Dalam kesempatan sosialisasi kepada anggota Lions Club Bandung di Bandung, Kamis malam, Sriharyati mengatakan metode pengolahan sampah rumah tangga menjadi kompos mempunyai beberapa keuntungan dan tidak merepotkan.
"Selain tidak menyebabkan bau, metode pengolahan sampah ini juga tidak membutuhkan biaya mahal. Bahkan, metode ini juga sangat sederhana dan ramah lingkungan.
Menurut Sri, metode pengolahan sampah yang satu ini sangat mengandalkan udara atau oksigen. "Prinsip metode pengomposan ini sangat mengandalkan udara. Yakni, udara dibutuhkan sebagai asupan penting dalam poses pertumbuhan mikroorganisme," tuturnya. Lebih lanjut, Sri memaparkan proses pengomposan Takakura yang bisa dilakukan siapa saja. "Metode Takakura ini dilakukan dengan cara memasukan sampah organik, idealnya sampah organik tercacah dimasukan ke dalam keranjang setiap harinya kemudian dilakukan kontrol suhu dengan cara pengadukan serta penyiraman air," ungkapnya.
Bahkan, menurut Sri, salah satu permasalahan dari sampah yang selama ini mengganggu yakni `bau`, dengan metode ini menjadi sirna sama sekali. "Bau sampah yang biasa kita hirup dari tempat sampah rumah kita, dengan metode ini justru bau tersebut menghilang," terang Sri. Oleh karena itu masyarakat banyak yang menginginkannya.
Kelebihan teknik olah sampah Takakura, yakni adanya inokulan (bibit) bakteri yang bisa dibuat sendiri dalam satu kali proses pengomposan, selanjutnya bisa didaur ulang.
"Dalam metode ini tidak ada yang harus dibeli secara rutin, berbeda dengan proses metode pengomposan lainnya, dan semua rumah tangga bisa melakukannya, meski tak memiliki halaman luas sekalipun," kata dia. Keberadaannya sangat dikenal.
Sri juga mengharapkan partisipsi dari masyarakat untuk mengolah sampahnya sendiri. "Permasalahan sanitasi ini juga menjadi perhatian dunia. Bahkan, sanitasi itu sendiri menjadi cerminan suatu keluarga sampai kota dan negara. Selain itu, permasalah sampah Kota Bandung menjadi tanggungjawab seluruh elemen warga Bandung," ujar Sri.
Sosialisasi metode pengomposan Takakura terkait hari Bumi tersebut terungkap dalam acara yang diselenggarakan oleh Gerakan Masyarakat Peduli lingkungan (Gema Pelikan) bekerja sama Komunitas Merakit Keranjang Takakura.
Kewirausahaan Sosial Berbasis Kearifan Lingkungan, di Pusdakota, antara lain diwujudkan lewat perakitan Keranjang Pengomposan Takakura. Sebagaimana diketahui, Keranjang Pengomposan Takakura merupakan hasil riset antara Pusdakota, pihak Jepang dan Pemerintahan Kota Surabaya. Kerja sama antar masyarakat.
Sosialisasi metode pengomposan Takakura terkait hari Bumi tersebut terungkap dalam acara yang diselenggarakan oleh Gerakan Masyarakat Peduli lingkungan (Gema Pelikan) bekerja sama Komunitas Merakit Keranjang Takakura.
Kewirausahaan Sosial Berbasis Kearifan Lingkungan, di Pusdakota, antara lain diwujudkan lewat perakitan Keranjang Pengomposan Takakura. Sebagaimana diketahui, Keranjang Pengomposan Takakura merupakan hasil riset antara Pusdakota, pihak Jepang dan Pemerintahan Kota Surabaya. Kerja sama antar masyarakat.
Keranjang ini dirakit dari bahan-bahan sederhana, antara lain keranjang, dua batalan sekam, kardus, kain, cetok, manual, dan kompos yang berasal dari sampah organik warga. Memang, Keranjang Pengomposan Takakura merupakan terobosan teknologi tepat guna, yang tidak saja mampu menyelesaikan sebagian masalah sampah rumah tangga, namun juga diharapkan bisa mendukung hal-hal lain, misalnya pengembangan kewirausahaan berbasis kearifan lingkungan. Sebab, boleh dikata, keranjang takakura itu diversivikasi usaha pemasaran kompos. Sehingga sangat mudah untuk digunakan.
Komunitas RW I Rungkut Lor Surabaya telah memilah dan mengolah sampah sejak tahun 2000. Sejak tahun 2000 - 2005, kompos yang dibuat dengan metode open windrow dipasarkan dalam bentuk kompos biasa, yang harga rata-rata per kg-nya tidak lebih dari Rp 1500. ”Tapi bila dipasarkan dengan Keranjang Takakura, harga bisa terdongkrak. Secara ekonomi komunitas yang terlibat juga ikut merasakan hasilnya,” kata Parwito sambil mengibaratkan bahwa kayu yang telah diubah jadi mebel lebih punya nilai jual ketimbang yang dijual dalam bentuk gelondongan.
Perakitan yang dikerjakan komunitas, antara lain pengisian sekam ke bantalan sekam, penjahitan bantalan sekam, pemotongan kardus, penyediaan manual, pembuatan cetok, dan pengisian kompos ke dalam keranjang. Semuanya dilakukan dibawah asistensi Pusdakota. ”Kami melakukan check and recheck atas Keranjang Takakura yang dirakit komunitas sebelum sampai ke pengguna,” kata Parwito.
Karena permintaan akan keranjang ini terus meningkat dari waktu ke waktu, komunitas di wilayah Rungkut Lor Surabaya mengerjakan perakitan tidak saja di Pusdakota, namun juga di rumah masing-masing. Perakitan keranjang juga melibatkan kaum difabel yang tergabung dalam Paguyuban Daya Mandiri, yakni forum kaum difabel di sekitar Rungkut Surabaya yang dibentuk Pusdakota sejak tahun lalu
Saat merakit keranjang bersama-sama di Pusdakota, para perakit juga memperoleh manfaat tambahan. Staf Pusdakota, misalnya, juga mentransfer ilmu pembukuan sederhana, membibit yang baik, ataupun lain hal yang bersifat praktis dan bermanfaat bagi mereka. Selain itu manfaat yang sangat penting juga ada.
Salah satu alat dalam Keranjang Pengomposan Takakura adalah cetok. Semula, cetok untuk Keranjang Pengomposan Takakura dipasok pabrik. Namun kini, cetok tersebut telah diupayakan pembuatannya oleh satu komunitas pecinta lingkungan, yakni Komunitas Bantaran Kali Bratang Surabaya.
Salah satu alat dalam Keranjang Pengomposan Takakura adalah cetok. Semula, cetok untuk Keranjang Pengomposan Takakura dipasok pabrik. Namun kini, cetok tersebut telah diupayakan pembuatannya oleh satu komunitas pecinta lingkungan, yakni Komunitas Bantaran Kali Bratang Surabaya.
Komunitas Bantaran Kali Bratang, Surabaya memang sangat kreatif. Berbagai macam sampah anorganik mereka daur ulang menjadi barang-barang yang berguna. Kaidah 3R dalam pengelolaan lingkungan, yakni Reuse, Reduce, dan Recycle sedapat mungkin mereka terapkann untuk lingkungan. ”Kami memang tinggal di bantaran kali. Tapi kami tidak ingin dianggap sebagai perusak lingkungan. Prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan kami usahakan bisa terapkan sampai ke lingkungan keluarga Kami mengelola sampah. Kami memanfaatkan barang-barang bekas ataupun mendaur ulang,” ujar Darsono, salah satu aktivis lingkungan hidup dari bantaran kali Bratang Surabaya.
Untuk masalah daur ulang barang bekas, mereka tidak hanya menghasilkan kerajinan dari bahan kayu bekas, keranjang pakaian yang berasal dari tali bekas, akan tetapi mereka juga mampu membuat cetok dari paralon bekas. Cetok yang mereka hasilkan, menjadi salah satu alat penting untuk Keranjang Takakura. Belakangan, mereka namakan cetok tersebut sebagai ”cekom”, yang artinya, cetok komunitas. ”Karena ide dan pengerjaan cetok ini dilakukan oleh komunitas,” ujar Sudarsono lagi.
Idepembuatan cetok komunitas muncul setelah peluncuran Keranjang Takakura ke publik Surabaya. Semula, keranjang pengomposan hasil riset antara Pusdakota, KITA, Pemerintahan Kitakyusu dan Pemerintahan Kota Surabaya ini, memakai cetok hasil buatan pabrik. Sejak Komunitas Bantaran Kali memproduksi cekom, Pusdakota lebih memilih untuk memakai cetok mereka. ”Kadang-kadang kami pesan sampai 6000 cetok untuk ribuan keranjang,” ujar Parwit mengenai tempat sampah.
Supardi, salah satu warga bantaran kali mengaku, sejak adanya Keranjang Takakura dan perjumpaan intens Pusdakota dengan komunitasnya, di kalangan warga terjadi pelipatgandaan kreativitas. Barang-barang hasil daur ulang produksi warga pun jenisnya terus bertambah. Sehingga banyak variasi dari barang itu
”Kami ingin mengubah persepsi bahwa warga bantaran kali hanya bisa demo. Persepsi masyarakat atas warga yang menghuni bantaran kali biasanya negatif. Kami dianggap sebagai biang kekumuhan kota dan penyebab banjir. Kami ingin buktikan bahwa kami bisa menjaga lingkungan dengan baik.,” ujar Haryono, warga yang lain.
Cetok komunitas dirakit dari bahan paralon bekas yang banyak terdapat di sekitar bantaran kali Bratang. Sebelum dibuat cekom, umumnya warga memanfaatkannya sebagai pot gantung untuk menanam bunga. Dan kini, setelah permintaan cekom terus meroket dari waktu ke waktu, warga rutin membuat cetok. ”Karena sampai kehabisan sisa paralon, kami memanfaatkan paralon baru juga,” ujar Haryono.
Cetok komunitas tak hanya menjalankan fungsi daur ulang barang bekas menjadi sesuatu yang bermanfaat ataupun menambah income keluarga, tapi yang paling penting adalah sarana silaturrahmi dan diskusi warga. ”Lewat pembuatan cetok, warga bertemu, membina kerukunan, bertukar pikiran dan kreativitas. ”Kini saban hari kampung penuh canda dan tawa. Tidak hanya para bapak, ibu-ibu dan remaja juga membuat cetok.
Seorang remaja mengaku, keinginannya untuk memiliki tas sekolah baru kesampaian setelah ia juga membantu membuat cetok.
Jujuk, salah satu ibu yang ikut membuat cetok menyatakan, memperoleh penghasilan Rp 90 ribu untuk pembuatan cetok selama 6 hari. Ia bekerja serabutan, mulai dari membuat pola, membuat gagang, atau menghaluskan.
Pembuatan cetok komunitas tidak sesederhana yang dikira. Prosesnya saja paling tidak ada 5 tahap, yakni: membuat pola, menggergaji, mengikir, menghaluskan, dan memasang ke gagang. Ini harus dilakukan dengan kecermatan tinggi.
Belakangan ini, cetok komunitas tersebut tidak hanya dipasarkan ke Pusdakota, namun mereka juga telah menerima pesanan dari berbagai pihak. ”Paling banyak dari toko-toko bunga,” ujar Supardi sembari berharap kreativitas warga terus meningkat dari waktu ke waktu.